Friday, July 08, 2005

Spiritual Writing

Spiritual Writing
(Jalan Lain Membangkitkan Kehebatan)
Oleh Mohammad Fauzil Adhim

Berapa lama waktu yang kita perlukan untuk menyelesaikan satu buku? Agar Cinta Bersemi Indah saya selesaikan dalam waktu satu bulan. Buku lainnya ada yang rampung dalam waktu 2 minggu, 12 hari, 6 hari dan ada juga yang selesai dalam waktu tiga hari. Umumnya saya menulis buku sambil tetap melakukan berbagai aktivitas. Bahkan kadang saya menulis di tengah aktivitas yang sangat padat. Ketika menulis buku Agar Cinta Bersemi Indah, saya harus tetap memenuhi berbagai undangan, mendengar orang-orang yang datang ke rumah untuk curhat. Buku lainnya ada yang saya tulis di sela-sela kesibukan KKN. Jangan bayangkan tempat KKN saya mudah dicapai kendaraan. Sekedar gambaran, untuk mencapai lokasi KKN dari tempat saya mencuci pakaian butuh waktu 2,5 jam jalan kaki.
Lalu, apakah yang mempengaruhi cepat lambatnya merampungkan buku? Selain soal tebal tidaknya buku dan padat longgarnya kegiatan, kecepatan menulis buku juga sangat dipengaruhi oleh kekuatan jiwa. Jika kamu mampu mencapai kekuatan tekad yang kokoh, kejelasan visi dan kemantapan niat, buku setebal 200-an halaman bisa selesai dalam waktu kurang dari dua minggu. Buku tercepat yang saya susun, Memasuki Pernikahan Agung, saya tulis dalam waktu kurang dari tiga hari. Waktu itu saya sedang di Kendari, Sulawesi Tenggara. Ketika menghadiri pesta perkawinan, saya lihat ada kebiasaan yang sangat merisaukan, dan saya ingin sekali menyampaikan kepada masyarakat bagaimana seharusnya. Dorongan itu demikian kuat dan Allah mencurahkan anugerah dengan ide yang tak berhenti mengalir, kalimat yang meluncur dengan cepat, dan jari-jemari yang menari dengan lincah di atas tuts mesin ketik.
Di luar kecerdasan otak, sikap mental yang baik dan kekuatan motivasi, faktor yang sangat berperan dalam membangkitkan kehebatanmu adalah kejernihan spiritual. Bila sedang shalat, ‘Ali bin Abi Thalib tak lagi merasakan beratnya segala kesusahan dunia. Ketika menantu Nabi Saw. ini terkena anak panah, ia mendirikan shalat dan minta agar anak panah itu dicabut pada saat ia sedang khusyuk dalam shalatnya. Benarlah. Anak panah itu dicabut dan ‘Ali bin Abi Thalib seperti tidak merasakan sakit sama sekali.
Apa yang bisa kita ambil dari kisah ini? Kondisi ruhani kita berpengaruh sangat besar terhadap ketajaman otak kita, kekuatan fisik kita dan kecemerlangan pikiran kita. Menulis fiksi hanya dengan mengandalkan kekuatan imajinasi, akan menyerap energi yang lebih besar, butuh ketenangan untuk menuangkannya, dan meminta daya tahan yang cukup tinggi. Penulis dengan tipe seperti ini, jangan coba-coba ganggu meski hanya sehari, sebab ketenangan dan kesinambungan berkait erat dengan kemampuan mempertahankan, mengembangkan dan menuangkan imajinasi. Bila penulisnya kurang mampu mempertahankan, maka karyanya akan kering. Ada cerita, tapi tanpa ada kekuatan jiwa. Ada suspend, tapi tanpa kedalaman. Ada alur cerita yang lancar, tetapi dangkal dan tidak mengalir.
Ketajaman spiritual (ruhiyah) kita berpengaruh terhadap kuat tidaknya pancaran tulisan kita. Sebuah tulisan yang dituangkan dengan hati, akan meresap masuk ke hati. Bila kita menuangkan dengan hati yang jernih, maka yang terlahir adalah tulisan yang menyentuh dan bahkan menggetarkan jiwa. Kekuatan tulisan kamu akan semakin dahsyat apabila orang yang membaca juga sedang jernih hatinya dan lurus niatnya. Bertemunya ruh penulis dan pembaca dapat menggerakkan jiwa untuk melangkah, sebab ruh itu seperti pasukan berbaris. Bila bertemu dengan yang sejenis, akan mudah menyatu. Sementara bila bertemu dengan yang bertentangan, akan berselisih. Kita membaca tulisan yang tampaknya baik, tapi hati kita risau.
Kembali ke soal kekuatan ruhiyah dalam menulis. Saya teringat dengan Imam Bukhari. Setelah melakukan penelitian secara seksama, mendalam dan ekstra teliti, Imam Bukhari mengharuskan dirinya melakukan shalat istikharah setiap kali akan menuliskan satu hadis. Bila Allah memberi petunjuk bahwa hadis itu sebaiknya ditulis, barulah Imam Bukhari menuangkannya dalam tulisan. Begitulah, setiap hendak menuliskan satu hadis, ia selalu melakukan shalat istikharah. Hasilnya, Shahih Bukhari menjadi kitab yang insya-Allah paling barakah dan sampai hari ini menjadi rujukan yang paling dipercaya.
Imam Malik yang terkenal dengan kitab Muwaththa’nya, memiliki kisah yang lain. Bila orang datang hendak meminta fatwa, Imam Malik bisa segera keluar untuk menemui. Tetapi bila ada yang datang hendak belajar hadis, Imam Malik memerlukan diri untuk mandi terlebih dulu. Hadis merupakan perkataan yang sangat agung, sehingga Imam Malik memerlukan diri untuk mensucikan jiwa sebelum menyampaikan.
Kisah Imam Malik maupun Imam Bukhari merupakan contoh spiritual writing (menulis spiritual). Mereka menulis dengan terlebih dulu mensucikan jiwa (tazkiyatun nafs), sehingga Allah menjadikan setiap tetes tintanya penuh barakah. Mereka membersihkan hati, memantapkan niat dan menjernihkan pikiran sehingga bisa tawajjuh (menghadapkan diri) untuk menulis apa yang sungguh-sungguh penting. Hasilnya, adalah kecemerlangan dan kemampuan menulis yang dahsyat.
Apa yang bisa kita lakukan untuk menulis spiritual? Tidak ada ritual-ritual khusus. Prinsipnya adalah apa pun saja yang membuat kita lebih suci secara ruhiyah. Kita justru perlu berhati-hati agar tidak terjebak pada praktek-praktek ritual yang tidak dituntunkan agama. Jika kita merasa dengan mandi hati kita bisa lebih bersih, kita dapat menerapkannya sebagaimana Imam Malik melakukan. Jika dengan mendawamkan wudhu sebelum menulis membuat hati kita lebih khusyuk, maka yang demikian dapat kita lakukan. Tetapi berwudhu atau mandi bukanlah merupakan kiat menjadi penulis hebat.
Saya perlu menjelaskan masalah ini agar tidak terjadi kesalahpahaman. Jangan sampai kita terjatuh pada bid’ah di saat ingin mensucikan jiwa. Jika saat menulis trilogi Kupinang Engkau dengan Hamdalah saya berusaha agar selalu dalam keadaan suci, itu bukan berarti cara menulis yang cemerlang adalah dengan berwudhu terlebih dulu. Begitu pun jika sekali waktu saya melakukan shalat sebelum menulis dan kemudian buku-buku itu menjadi best-seller, bukan berarti cara menulis buku best-seller adalah dengan shalat atau bahkan puasa. Tetapi yang perlu kita garis-bawahi adalah usaha untuk membersihkan hati dan mendekatkan diri kepada Allah, sehingga niat kita dalam menulis lebih mulia.
Alhasil, jika kamu bertanya kepada saya do’a apa yang bisa diamalkan untuk menjadi penulis best-seller, jawabnya adalah, “Tak ada. Rasulullah Saw. tidak menuntunkan do’a menjadi penulis yang hebat.” Tetapi jika kamu bertanya apakah saya biasa berdo’a saat menulis, tanpa ragu saya jawab, “Ya. Sebab do’a adalah otaknya ibadah. Dengan berdo’a, saya berharap tulisan saya bernilai ibadah. Dan inilah inti dari spiritual-writing.”
Nah, bagaimana? Siapkan penamu, bangkitkan jiwamu dan getarkan jiwa dengan spiritual writing.

0 Comments:

Post a Comment

<< Home