Friday, July 08, 2005

To Achieve Your Dreams, Remember Your ABCs

A -void negative sources, people, things and habits.
B -elieve in yourself.
C -onsider things from every angle.
D -on't give up and don't give in.
E -njoy life today: yesterday is gone and tomorrow may never come.
F -amily and Friends are hidden treasures. Seek them and enjoy their riches.
G -ive more than you planned to give.
H -ang on to your dreams.
I -gnore those who try to discourage you.
J -ust do it!
K -eep on trying, no matter how hard it seems. It will get better.
L -ove yourself first and foremost.
M -ake it happen.
N -ever lie, cheat, or steal. Always strike a fair deal.
O -pen your eyes and see things as they really are.
P -ractice makes perfect.
Q -uitters never win and winners never quit.
R -ead, study and learn about everything important in your life.
S -top procrastinating.
T -ake control of your own destiny.
U -nderstand yourself in order to better understand others.
V -isualize it.
W -ant it more than anything.
X -ccelerate your efforts.
Y -ou are unique of all of Nature's creations. Nothing can replace you.
Z -ero in on your target, and go for it!!


by Wanda Carter

Bangkitkan Kehebatanmu

Bangkitkan Kehebatanmu
Oleh Mohammad Fauzil Adhim

Banyak penulis berbakat, tetapi tidak mampu membuat tulisan yang hebat. Mereka pernah menjadi juara di berbagai sayembara mengarang; mereka memperoleh penghargaan di berbagai perlombaan; mereka menumpuk piala-piala di ruang tamunya, tetapi tak satu pun karya berharga yang mampu mereka tulis. Selebihnya, piala-piala itu hanya menjadi kisah membanggakan untuk penghias cerita saat datang kenalan.
Apa yang menyebabkan mereka gagal menjadi penulis handal? Mental. Karena tidak memiliki mental pemenang, mereka gagal menjadi penulis cemerlang. Apa saja yang perlu kita miliki agar dapat melahirkan tulisan yang selalu dicari-cari? Inilah beberapa hal yang perlu kita perhatikan untuk melejitkan kehebatan kita sebagai penulis:
Jadi yang Terbaik, Bukan yang Lebih Baik
Ada dua penyakit yang sering membuat kita tak pernah melejit, yakni banyak mengeluh atau sebaliknya terlalu cepat merasa puas. Banyak mengeluh membuat kita tidak pernah puas, dan akhirnya menjadikan kita tak pernah memiliki rasa percaya diri bahwa tulisan kita cukup berharga. Kita selalu merasa lebih jelek, sehingga tidak pernah berani mempublikasikan. Sebaliknya, terlalu cepat merasa puas membuat kita tidak berkembang. Kita merasa cukup sebelum melakukannya secara optimal. Kita merasa qana’ah, padahal sebenarnya merupakan sikap seenaknya.
Penyakit terakhir ini sering saya temui pada banyak penulis. Mereka lebih hebat dari saya, tetapi mereka tidak mampu melahirkan karya dahsyat. Sebabnya sederhana, mereka menganggap tulisannya lebih baik dari orang lain. “Ah, saya kira sudah cukup. Banyak yang lebih sederhana dari ini, juga bisa terbit.” Alhasil, karya mereka pun hanya menjadi karya “yang sedang-sedang saja”, meskipun awalnya memang lebih baik dari orang lain.
Nah, jika kita ingin melahirkan karya yang memikat, ada satu sikap mental yang perlu kita miliki. Saya sering menggambarkannya dalam ungkapan if the best is excellent, good is not enough. Sederhananya, jika mampu melakukan yang terbaik, tidak layak melakukan yang sekedar baik. Meskipun “yang sekedar baik” itu sudah jauh lebih baik daripada seluruh tulisan yang ada, tak layak kita menuliskannya jika kita memang mampu melahirkan tulisan yang lebih baik lagi.
Alhasil, camkanlah untuk selalu menulis dengan sebaik-baiknya. Ini tidak berarti kita berhenti menulis bila kita sedang sakit karena khawatir tulisan kita tak sebaik kemarin. Tetapi, kita harus menulis dengan sebaik-baiknya sesuai keadaan kita saat itu. Kita melakukan yang terbaik jika kita meraih nilai tujuh karena memang kemampuan maksimal saat ini adalah tujuh, meskipun kemarin kita mampu meraih nilai sembilan. Sebaliknya, nilai delapan saat ini bisa merupakan prestasi yang menyedihkan kalau sebenarnya kita mampu meraih nilai sepuluh.
Termasuk mental untuk menjadi yang terbaik adalah berusaha melahirkan tulisan terbaik untuk media yang terbaik pula. Kalau kemudian kita menulis di media yang tingkat persaingannya rendah, jangan pernah karena alasan mudah menembusnya. Alasan semacam ini selain membuat kita tidak puas, juga membuat kita semakin tidak percaya diri. Lama-lama kita malah mengalami ketakutan untuk memasuki persaingan yang kita. Pada akhirnya kita benar-benar tidak mampu menghasilkan tulisan yang enak dibaca dan perlu. Inilah fenomena ketidakberdayaan karena kita merasa tidak berdaya. Selligman menyebutnya sebagai learned hopelessness (ketidakberdayaan yang dipelajari).
Ketika pertama kali mau menulis buku untuk diterbitkan, tahukah apakah yang saya lakukan? Saya cari informasi penerbit terbaik dan paling sulit ditembus. Waktu itu, jawabannya adalah Penerbit Mizan. Maka saya pun memancangkan tekad, saya akan menulis buku yang layak untuk Penerbit Mizan. Alhamdulillah, naskah saya diterima, cukup meledak di pasaran, dan cetakan kedua dibeli seluruhnya oleh proyek pusat perbukuan pemerintah.
Belajar Dari Kesalahan Sendiri
Orang-orang yang memiliki mental pemenang selalu berusaha untuk lebih daripada sebelumnya. Artinya, kita berusaha lebih baik bukan dibanding orang lain, tetapi dibanding diri sendiri. Jika merasa lebih baik daripada orang lain akan segera mengubur kehebatan kita ke jurang yang paling dalam, berusaha untuk selalu lebih baik daripada sebelumnya akan membuat kita menjadi a few good ones (sekelompok kecil penulis-penulis terbaik).
Salah satu cara untuk selalu lebih baik daripada sebelumnya adalah dengan belajar dari kesalahan diri sendiri. Dulu, ketika awal-awal menulis di media massa, saya selalu menyimpan tulisan asli. Bila dimuat, masalah pertama yang saya perhatikan adalah, adakah perbedaan antara tulisan asli dengan tulisan yang sudah dimuat. Jika ada perbedaan, perhatikanlah dengan seksama apakah perbedaan itu karena kelalaian editor ataukah karena tulisan kita memang perlu disempurnakan. Bagaimana mengetahuinya? Kita bisa menalar sendiri, tetapi bisa juga menemui editornya. Melalui cara ini, insya-Allah kualitas tulisan kita akan bisa meningkat dengan cepat.
Cara lain adalah mencari naskah yang terbuang. Di awal karier saya menulis, saya merasa senang bila menemukan tulisan yang dibuang di tempat sampah editor. Dibanding membaca karya-karya yang sudah terbit, tulisan yang terbuang di tempat sampah seringkali memberi pelajaran yang lebih banyak (soalnya, kadang tulisan kita dimuat kan karena kasihan. He… he… he….).
Apalagi yang perlu kita perhatikan untuk membangkitkan kehebatan kita sebagai penulis? Ada empat hal. Tetapi karena terbatasnya halaman, insya-Allah kita akan berjumpa di An-Nida’ edisi depan. So, don’t miss it! OK?
Sebelum berpisah, jangan lupa: Be the best, but not the better. Jadilah yang terbaik, tapi bukan yang lebih baik.Daaaagh….

Spiritual Writing

Spiritual Writing
(Jalan Lain Membangkitkan Kehebatan)
Oleh Mohammad Fauzil Adhim

Berapa lama waktu yang kita perlukan untuk menyelesaikan satu buku? Agar Cinta Bersemi Indah saya selesaikan dalam waktu satu bulan. Buku lainnya ada yang rampung dalam waktu 2 minggu, 12 hari, 6 hari dan ada juga yang selesai dalam waktu tiga hari. Umumnya saya menulis buku sambil tetap melakukan berbagai aktivitas. Bahkan kadang saya menulis di tengah aktivitas yang sangat padat. Ketika menulis buku Agar Cinta Bersemi Indah, saya harus tetap memenuhi berbagai undangan, mendengar orang-orang yang datang ke rumah untuk curhat. Buku lainnya ada yang saya tulis di sela-sela kesibukan KKN. Jangan bayangkan tempat KKN saya mudah dicapai kendaraan. Sekedar gambaran, untuk mencapai lokasi KKN dari tempat saya mencuci pakaian butuh waktu 2,5 jam jalan kaki.
Lalu, apakah yang mempengaruhi cepat lambatnya merampungkan buku? Selain soal tebal tidaknya buku dan padat longgarnya kegiatan, kecepatan menulis buku juga sangat dipengaruhi oleh kekuatan jiwa. Jika kamu mampu mencapai kekuatan tekad yang kokoh, kejelasan visi dan kemantapan niat, buku setebal 200-an halaman bisa selesai dalam waktu kurang dari dua minggu. Buku tercepat yang saya susun, Memasuki Pernikahan Agung, saya tulis dalam waktu kurang dari tiga hari. Waktu itu saya sedang di Kendari, Sulawesi Tenggara. Ketika menghadiri pesta perkawinan, saya lihat ada kebiasaan yang sangat merisaukan, dan saya ingin sekali menyampaikan kepada masyarakat bagaimana seharusnya. Dorongan itu demikian kuat dan Allah mencurahkan anugerah dengan ide yang tak berhenti mengalir, kalimat yang meluncur dengan cepat, dan jari-jemari yang menari dengan lincah di atas tuts mesin ketik.
Di luar kecerdasan otak, sikap mental yang baik dan kekuatan motivasi, faktor yang sangat berperan dalam membangkitkan kehebatanmu adalah kejernihan spiritual. Bila sedang shalat, ‘Ali bin Abi Thalib tak lagi merasakan beratnya segala kesusahan dunia. Ketika menantu Nabi Saw. ini terkena anak panah, ia mendirikan shalat dan minta agar anak panah itu dicabut pada saat ia sedang khusyuk dalam shalatnya. Benarlah. Anak panah itu dicabut dan ‘Ali bin Abi Thalib seperti tidak merasakan sakit sama sekali.
Apa yang bisa kita ambil dari kisah ini? Kondisi ruhani kita berpengaruh sangat besar terhadap ketajaman otak kita, kekuatan fisik kita dan kecemerlangan pikiran kita. Menulis fiksi hanya dengan mengandalkan kekuatan imajinasi, akan menyerap energi yang lebih besar, butuh ketenangan untuk menuangkannya, dan meminta daya tahan yang cukup tinggi. Penulis dengan tipe seperti ini, jangan coba-coba ganggu meski hanya sehari, sebab ketenangan dan kesinambungan berkait erat dengan kemampuan mempertahankan, mengembangkan dan menuangkan imajinasi. Bila penulisnya kurang mampu mempertahankan, maka karyanya akan kering. Ada cerita, tapi tanpa ada kekuatan jiwa. Ada suspend, tapi tanpa kedalaman. Ada alur cerita yang lancar, tetapi dangkal dan tidak mengalir.
Ketajaman spiritual (ruhiyah) kita berpengaruh terhadap kuat tidaknya pancaran tulisan kita. Sebuah tulisan yang dituangkan dengan hati, akan meresap masuk ke hati. Bila kita menuangkan dengan hati yang jernih, maka yang terlahir adalah tulisan yang menyentuh dan bahkan menggetarkan jiwa. Kekuatan tulisan kamu akan semakin dahsyat apabila orang yang membaca juga sedang jernih hatinya dan lurus niatnya. Bertemunya ruh penulis dan pembaca dapat menggerakkan jiwa untuk melangkah, sebab ruh itu seperti pasukan berbaris. Bila bertemu dengan yang sejenis, akan mudah menyatu. Sementara bila bertemu dengan yang bertentangan, akan berselisih. Kita membaca tulisan yang tampaknya baik, tapi hati kita risau.
Kembali ke soal kekuatan ruhiyah dalam menulis. Saya teringat dengan Imam Bukhari. Setelah melakukan penelitian secara seksama, mendalam dan ekstra teliti, Imam Bukhari mengharuskan dirinya melakukan shalat istikharah setiap kali akan menuliskan satu hadis. Bila Allah memberi petunjuk bahwa hadis itu sebaiknya ditulis, barulah Imam Bukhari menuangkannya dalam tulisan. Begitulah, setiap hendak menuliskan satu hadis, ia selalu melakukan shalat istikharah. Hasilnya, Shahih Bukhari menjadi kitab yang insya-Allah paling barakah dan sampai hari ini menjadi rujukan yang paling dipercaya.
Imam Malik yang terkenal dengan kitab Muwaththa’nya, memiliki kisah yang lain. Bila orang datang hendak meminta fatwa, Imam Malik bisa segera keluar untuk menemui. Tetapi bila ada yang datang hendak belajar hadis, Imam Malik memerlukan diri untuk mandi terlebih dulu. Hadis merupakan perkataan yang sangat agung, sehingga Imam Malik memerlukan diri untuk mensucikan jiwa sebelum menyampaikan.
Kisah Imam Malik maupun Imam Bukhari merupakan contoh spiritual writing (menulis spiritual). Mereka menulis dengan terlebih dulu mensucikan jiwa (tazkiyatun nafs), sehingga Allah menjadikan setiap tetes tintanya penuh barakah. Mereka membersihkan hati, memantapkan niat dan menjernihkan pikiran sehingga bisa tawajjuh (menghadapkan diri) untuk menulis apa yang sungguh-sungguh penting. Hasilnya, adalah kecemerlangan dan kemampuan menulis yang dahsyat.
Apa yang bisa kita lakukan untuk menulis spiritual? Tidak ada ritual-ritual khusus. Prinsipnya adalah apa pun saja yang membuat kita lebih suci secara ruhiyah. Kita justru perlu berhati-hati agar tidak terjebak pada praktek-praktek ritual yang tidak dituntunkan agama. Jika kita merasa dengan mandi hati kita bisa lebih bersih, kita dapat menerapkannya sebagaimana Imam Malik melakukan. Jika dengan mendawamkan wudhu sebelum menulis membuat hati kita lebih khusyuk, maka yang demikian dapat kita lakukan. Tetapi berwudhu atau mandi bukanlah merupakan kiat menjadi penulis hebat.
Saya perlu menjelaskan masalah ini agar tidak terjadi kesalahpahaman. Jangan sampai kita terjatuh pada bid’ah di saat ingin mensucikan jiwa. Jika saat menulis trilogi Kupinang Engkau dengan Hamdalah saya berusaha agar selalu dalam keadaan suci, itu bukan berarti cara menulis yang cemerlang adalah dengan berwudhu terlebih dulu. Begitu pun jika sekali waktu saya melakukan shalat sebelum menulis dan kemudian buku-buku itu menjadi best-seller, bukan berarti cara menulis buku best-seller adalah dengan shalat atau bahkan puasa. Tetapi yang perlu kita garis-bawahi adalah usaha untuk membersihkan hati dan mendekatkan diri kepada Allah, sehingga niat kita dalam menulis lebih mulia.
Alhasil, jika kamu bertanya kepada saya do’a apa yang bisa diamalkan untuk menjadi penulis best-seller, jawabnya adalah, “Tak ada. Rasulullah Saw. tidak menuntunkan do’a menjadi penulis yang hebat.” Tetapi jika kamu bertanya apakah saya biasa berdo’a saat menulis, tanpa ragu saya jawab, “Ya. Sebab do’a adalah otaknya ibadah. Dengan berdo’a, saya berharap tulisan saya bernilai ibadah. Dan inilah inti dari spiritual-writing.”
Nah, bagaimana? Siapkan penamu, bangkitkan jiwamu dan getarkan jiwa dengan spiritual writing.

Five Golden Rules For Writers

So, you've begun writing, and you're thinking of sending some of your work out into the world, in hopes of getting published; or perhaps you don't intend to publish at all, but have launched a private writing project, collecting memoirs from family members, writing a story collection for your grandchildren. Maybe you're a professional writer slogging it out at the computer or typewriter most of the day. Regardless of what sort of writer you are and how much you love to write, there are probably days when you'd rather clean ditches than face another blank page.As writers, we face common challenges; staying motivated and confident, avoiding "writer's block," and meeting goals (on time!) are some of the toughest. Here is some of the best practical advice I've come by, or discerned myself, for becoming and remaining productive, creative, and content while traversing the writer's path. Try implementing these "Five Golden Rules" and see if they work for you.Golden Rule #1: Avoid dwelling on past work: get on with it.This is maybe the most important, and most difficult to follow of the Golden Rules. There is actually a subset of rules under this category, since there are many ways to "dwell" and many things to dwell on. Take heed, then, that thou shalt never:
· stop writing for a time because you received a discouraging rejection letter. Whether or not you've been published yet, mark a file folder "Acceptance Letters" and expect to fill it eventually. Your day will come.
· stop writing for a time because you've completed something or because you've had an acceptance. There is a tendency to relax, to say: "Ah, I've done it." Savor the moment, sure; but don't get overly lazy with your writing. Move on to your next project.
· reread every sentence, paragraph, etc. after you've just written it. Learn to disengage your "editor" self until the work is finished -- you'll be much more efficient and prolific this way.
Golden Rule #2: Accept rejection gleefully!Well, maybe not "gleefully." But it is true: you can learn from rejections. Therefore:
· Test your work on other writers you admire and listen to what they bring up, both the compliments and the criticisms.
· If you receive a rejection letter that contains comments on why your piece was turned down, read it, file it, and think about it; decide if you should edit the work some more before sending it out again. Chances are if the editor took the time to write a note to you, they saw some kind of potential in your work -- that's the next best thing to being accepted!
· Finally, remember that you must study your markets carefully, and be selective about what article, story, etc. you send to what publication. Rejection might simply indicate that you sent your work to the wrong place.
Golden Rule #3: Keep track of everything ... everything.If you are sending stuff out to editors, you must keep track of what you send, where you send it, and when you send it.
· One good way to keep a log is to create a table, either with your word processor or by hand, with columns marked for: 1. Title of work or query; 2. Title of journal, magazine, etc. you sent to; 3. Date sent; 4. Date accepted or rejected (mark A or R, date); 5. Other places the work was sent.
· Make sure not to leave out 5, since you don't want to waste time re-sending a piece to somewhere it has been turned down. You might want to mark beside 2 how long you expect to wait for a reply, if you have this information.
· Print off extra copies of your cover letters and keep them in a file with the submitted pieces attached.
· You might also want to log how many hours you spend writing each day, week, etc., to help keep you honest.
· Organize your correspondence, research materials, notes, and other important documents and keep them in handy portable file boxes.
Golden Rule #4: Write about what interests you.Everyone has heard the sermon about writing "what you know." It's good to keep in mind, however, that what you don't yet know can be learned, through research or contact with other people.
· As long as it interests you, it's a topic worthy of pursuing. Go to the library and look it up; watch a documentary; conduct interviews with experts; listen to people's stories, memories and impressions. Then write.
· If it bores you silly, but you feel you should write about it because: (a) it's a marketable subject/theme; (b) someone has asked you to write about it; (c) everyone else is writing about it; or (d) nobody else is writing about it -- go ahead, if you'll receive proper compensation for your boredom. If not, leave it alone.
· If your subject excites you tremendously, but seems to bore everyone else, you can: write it anyway because it's good for the soul; scour the publishing world for a suitable market, since there's bound to be someone who shares your (possibly obscure) interest; or slant your article/story to suit a particular publication.
Golden Rule #5: Stare at the wall; drink some coffee; scribble.You can substitute the ceiling, some tea, and doodling if you wish. As long as you get away from the work for a bit to relax, ponder, daydream, pet the cat. "But that's a waste of precious time," you say. Not true. On the contrary: you can't ignore this rule and expect to flourish as a writer. Why? Because "goofing off" actually serves to fuel your imagination and restock your creative resources. You can't expect to function physically without sleep, right? Likewise, you can't expect to function as a writer unless you occasionally . . .
· Do other creative things, whether you're "good" at them or not. Make a cartoon with stick figures. Try watercolors. Take a dance class. Improvise a song while you shower.
· Move around. You'll notice that your mind tends to go numb at about the same point your butt does: that's your signal to get up and take a walk outside, wrestle with the kids, do Tai Chi, whatever. Just move.
· Is there a character in your story whose been giving you grief? Maybe you haven't gotten to know her properly yet, or she you. Invite her to shuffle about your brain while you peel potatoes and ask her a few questions -- you'll be surprised at how agreeable she becomes.
· Get out of the house! Or office. Cabin fever is a continuous occupational hazard for writers, but you don't have to succumb: get together with friends, or simply be around other people in a public place.
There you have them, the golden rules. Maybe you knew them already -- at least intuitively. I find, however, that it's good to be explicit about how we structure and govern our writing lives. Without rules to live by, and goals to strive for, our art suffers -- languishes from lack of discipline and drive. So buck up and commit the rules to memory, recite them once a day. And write, write, write!

Copyright, 1997. Lisa Cote

Sembilan Elemen Jurnalisme

Sembilan Elemen Jurnalisme
Dua wartawan Amerika dalam kejernihan.
Oleh: ANDREAS HARSONO

HATI nurani jurnalisme Amerika ada pada Bill Kovach. Ini ungkapan yang sering dipakai orang bila bicara soal Kovach. Thomas E. Patterson dari Universitas Harvard mengatakan Kovach punya "karier panjang dan terhormat" sebagai wartawan. Goenawan Mohamad, redaktur pendiri majalah Tempo, merasa sulit "mencari kesalahan" Kovach.
Wartawan yang nyaris tanpa cacat itulah yang menulis buku The Elements of Journalism ber­­sama rekannya, Tom Rosenstiel. Kovach memulai debutnya sebagai wartawan pada 1959 di sebuah suratkabar kecil sebelum bergabung dengan The New York Times, salah sa­tu suratkabar terbaik di Amerika Serikat, dan membangun kariernya selama 18 tahun di sana.
Kovach mundur ketika ditawari jadi pemimpin redaksi harian Atlanta Journal-Constitution. Hanya dalam dua tahun, Kovach membuat harian ini mendapatkan dua Pulitzer Prize, penghargaan bergengsi dalam jurnalisme Amerika. Total dalam kariernya, Kovach menugaskan dan menyunting lima laporan yang mendapatkan Pulitzer Prize. Pada 1989-2000 Kovach jadi kurator Nieman Foundation for Journalism di Universitas Harvard yang tujuannya meningkatkan mutu jurnalisme.
Sedangkan Tom Rosentiel mantan wartawan harian The Los Angeles Times, spesialis media dan jurnalisme. Kini, sehari-harinya Rosenstiel menjalankan Committee of Concerned Journalists –sebuah organisasi di Washington D.C. yang melakukan riset dan diskusi tentang media.
Dalam buku ini, Kovach dan Rosenstiel merumuskan sembilan elemen jurnalisme. Kesimpulan ini didapat setelah Committee of Concerned Journalists mengadakan banyak diskusi dan wawancara yang melibatkan 1.200 wartawan dalam periode tiga tahun.
Sembilan elemen ini sama kedudukannya. Tapi Kovach dan Rosenstiel menempatkan elemen jurnalisme yang pertama adalah kebenaran, yang –ironisnya– paling membingungkan.
Kebenaran yang mana? Bukankan kebenaran bisa dipandang dari kacamata berbeda-beda? Tiap-tiap agama, ideologi, atau filsafat punya dasar pemikiran tentang kebenaran yang belum tentu persis sama satu dengan yang lain. Sejarah pun sering direvisi. Kebenaran menurut siapa?
Bagaimana dengan bias seorang wartawan? Tidakkah bias pandangan seorang wartawan, karena latar belakang sosial, pendidikan, kewarganegaraan, kelompok etnik, atau agamanya, bisa membuat wartawan menghasilkan penafsiran kebenaran yang berbeda-beda?
Kovach dan Rosenstiel menerangkan, masyarakat butuh prosedur dan proses guna mendapatkan apa yang disebut kebenaran fungsional. Polisi melacak dan menangkap tersangka berdasarkan kebenaran fungsional. Hakim menjalankan peradilan juga berdasarkan kebenaran fungsional. Pabrik-pabrik diatur, pajak dikumpulkan, dan hukum dibuat. Guru-guru mengajarkan sejarah, fisika, atau biologi pada anak-anak sekolah. Semuanya merupakan kebenaran fungsional.
Namun, yang dianggap kebenaran senantiasa bisa direvisi. Seorang terdakwa bisa dibebaskan karena tak terbukti salah. Hakim bisa keliru. Pelajaran sejarah, fisika, biologi bisa salah. Bahkan hukum-hukum ilmu alam pun bisa direvisi.
Hal ini pula yang dilakukan jurnalisme. Bukan kebenaran dalam tataran filosofis. Tapi kebenaran dalam tataran fungsional. Orang butuh informasi lalu lintas agar bisa mengambil rute yang lancar. Orang butuh informasi harga, kurs mata uang, ramalan cuaca, hasil pertandingan bola, dan sebagainya.
Selain itu kebenaran yang diberitakan media dibentuk lapisan demi lapisan. Kovach dan Rosenstiel mengambil contoh tabrakan lalu lintas. Hari pertama seorang wartawan memberitakan kecelakaan itu. Di mana, jam berapa, jenis kendaraannya apa, nomor polisi berapa, korbannya bagaimana. Hari kedua berita itu mungkin ditanggapi pihak lain. Mungkin polisi, mungkin keluarga korban. Mungkin ada koreksi. Maka pada hari ketiga, koreksi itulah yang diberitakan. Ini juga bertambah ketika ada pembaca mengirim surat pembaca, atau ada tanggapan lewat kolom opini. Demikian seterusnya.
Jadi, kebenaran dibentuk hari demi hari, lapis demi lapis. Ibaratnya stalagmit, tetes demi tetes kebenaran itu membentuk stalagmit yang besar. Makan waktu, prosesnya lama. Tapi dari kebenaran sehari-hari ini pula terbentuk bangunan kebenaran yang lebih lengkap.
SAYA pribadi beruntung mengenal Kovach ketika berkesempatan mengikuti program Nieman Fellowship pada 1999-2000 dan Kovach jadi kuratornya. Di sana Kovach melatih wartawan-wartawan dari berbagai belahan dunia untuk lebih memahami pilihan-pilihan mereka dalam jurnalisme. Tekanannya jelas: memilih kebenaran!
Tapi mengetahui mana yang benar dan mana yang salah saja tak cukup. Kovach dan Rosenstiel menerangkan elemen kedua: "Kepada siapa wartawan harus menempatkan loyalitasnya? Pada perusahaannya? Pada pembacanya? Atau pada masyarakat?"
Pertanyaan itu penting, karena sejak 1980-an banyak wartawan Amerika yang berubah jadi pebisnis. Sebuah survei menemukan separuh wartawan Amerika menghabiskan setidaknya sepertiga waktunya buat urusan manajemen ketimbang jurnalisme.
Ini memprihatinkan karena wartawan punya tanggung jawab sosial yang tak jarang bisa melangkahi kepentingan perusahaan tempat mereka bekerja. Walau demikian –di sini uniknya– tanggung jawab itu sekaligus sumber keberhasilan perusahaan mereka. Perusahaan media yang mendahulukan kepentingan masyarakat justru lebih menguntungkan ketimbang yang hanya mementingkan bisnisnya sendiri.
Mari melihat dua contoh. Pada 1893, seorang pengusaha membeli harian The New York Times. Adolph Ochs percaya bahwa penduduk New York capek dan tak puas pada suratkabar-suratkabar kuning yang kebanyakan isinya sensasional. Ochs hendak menyajikan suratkabar serius, mengutamakan kepentingan publik, dan menulis, "... to give the news impartiality, without fear or favor, regardless of party, sect or interests involved."
Pada 1933, Eugene Meyer membeli harian The Washington Post dan menyatakan di halaman suratkabar itu, "Dalam rangka menyajikan kebenaran, suratkabar ini kalau perlu akan mengorbankan keuntungan materialnya, jika tindakan itu diperlukan demi kepentingan masyarakat."
Prinsip Ochs dan Meyer terbukti benar. Dua harian itu menjadi institusi publik yang prestisius sekaligus bisnis yang menguntungkan.
Kovach dan Rosenstiel khawatir, banyaknya wartawan yang mengurusi bisnis bisa mengaburkan misi media dalam melayani kepentingan masyarakat. Bisnis media berbeda dengan bisnis kebanyakan. Dalam bisnis media ada sebuah segitiga. Sisi pertama pembaca, pemirsa, atau pendengar. Sisi kedua: pemasang iklan. Sisi ketiga: masyarakat (citizens).
Berbeda dengan kebanyakan bisnis, dalam bisnis media, pemirsa, pendengar, atau pembaca bukanlah pelanggan (customer). Kebanyakan media, termasuk televisi, radio, maupun dotcom, memberikan berita secara gratis. Orang tak membayar untuk menonton televisi, membaca internet, atau mendengarkan radio. Bahkan dalam bisnis suratkabar pun, kebanyakan pembaca hanya membayar sebagian kecil dari ongkos produksi. Ada subsidi buat pembaca.
Adanya kepercayaan publik inilah yang kemudian "dipinjamkan" perusahaan media kepada para pemasang iklan. Dalam hal ini pemasang iklan memang pelanggan. Tapi hubungan ini seyogyanya tak merusak hubungan yang unik antara media dengan pembaca, pemirsa, dan pendengarnya.
Kovach dan Rosenstiel prihatin karena banyak media Amerika mengaitkan besarnya bonus atau pendapatan redaktur mereka dengan besarnya keuntungan yang diperoleh perusahaan bersangkutan. Sebuah survei menemukan, 71 persen redaktur Amerika menerapkan sebuah gaya manajemen yang biasa disebut management by objections.
Model ini ditemukan guru manajemen Peter F. Drucker. Idenya, para manajer diminta menentukan target sekaligus imbalan bila mereka berhasil mencapainya.
Manajemen model ini, menurut Kovach dan Rosenstiel, bisa mengaburkan tanggung jawab sosial para redaktur. Mengaitkan pendapatan seorang redaktur dengan penjualan iklan atau keuntungan perusahaan sangat mungkin untuk mengingkari prinsip loyalitas redaktur terhadap masyarakat. Loyalitas mereka bisa bergeser pada peningkatan keuntungan perusahaan karena dari sana pula mereka mendapatkan bonus.
BANYAK wartawan mengatakan, The Elements of Journalism perlu dipelajari orang media. Suthichai Yoon, redaktur pendiri harian The Nation di Bangkok, menulis bahwa renungan dua wartawan yang "sudah mengalami pencerahan" ini perlu dibaca wartawan Thai.
I Made Suarjana, dari tim pendidikan majalah Gatra, mengatakan pada saya bahwa Gatra sedang menerjemahkan buku ini buat keperluan internal mereka. "Buku ini kami pandang mengembalikan pada basic jurnalisme," kata Suarjana.
Salah satu bagian penting buku ini berupa penjelasan Bill Kovach dan Tom Rosenstiel tentang elemen ketiga. Mereka mengatakan esensi jurnalisme adalah disiplin dalam melakukan verifikasi.
Disiplin ini mampu membuat wartawan menyaring desas-desus, gosip, lupa, kekeliruan, manipulasi, guna mendapatkan informasi yang akurat. Disiplin verifikasi inilah yang membedakan jurnalisme dengan hiburan, propaganda, fiksi, atau seni.
Mereka berpendapat, "saudara sepupu" hiburan yang disebut infotainment (dari kata information dan entertainment) harus dimengerti para wartawan agar mereka tahu mana batas-batasnya. Infotainment hanya terfokus pada apa-apa yang menarik perhatian pemirsa dan pendengar. Jurnalisme meliput kepentingan masyarakat yang bisa menghibur tapi juga bisa tidak. Wartawan yang baik seyogyanya tak menganggap infotainment sebagai jurnalisme dan media yang baik juga tak perlu mengusung infotainment.
Selain itu, batas antara fiksi dan jurnalisme harus dibuat sejelas-jelasnya. Jurnalisme tak bisa dicampuri fiksi setitik pun.
Tapi batasan ini terkadang bisa jadi sulit ketika wartawan bekerja di lapangan. Kovach dan Rosenstiel mengambil contoh pengalaman wartawan Mike Wallace dari CBS yang difilmkan dalam The Insider. Film ini bercerita tentang keengganan jaringan televisi CBS menayangkan sebuah laporan tentang bagaimana industri rokok Amerika memakai zat kimia tertentu buat meningkatkan kecanduan perokok.
Kejadian itu sebuah fakta. Namun Wallace keberatan karena ada kata-kata yang diciptakan dan seolah-olah diucapkan Wallace. Dia merasa batas fiksi dan fakta jadi kabur dalam The Insider.
Sutradara Michael Mann membela diri dan mengatakan film itu "pada dasarnya akurat," karena Wallace memang takut dan takluk pada tekanan pabrik rokok. Jika kata-kata ada yang diciptakan atau motivasi Wallace dibuat berbeda antara keadaan nyata dan dalam film, Mann berpendapat itu bisa diterima.
Kovach dan Rosenstiel mengatakan dalam kasus itu keterpaduan (utility) jadi nilai tertinggi ketimbang kebenaran harfiah. Fakta disubordinasikan kepada kepentingan fiksi. Mann membuat film itu dengan tambahan drama agar menarik perhatian penonton atau setidaknya agar skenario film itu brsifat terpadu. Fakta dan jurnalisme tak bisa disubordinasikan kepada fiksi.
Lantas bagaimana dengan beragamnya standar jurnalisme? Tidakkah disiplin tiap wartawan dalam melakukan verifikasi bersifat personal? Bagaimana wartawan bisa melakukan verifikasi terhadap fakta bila mereka punya cara pandang yang berbeda-beda?
Kovach dan Ronsenstiel menerangkan, memang tak setiap wartawan punya pemahaman sama. Tidak setiap wartawan tahu standar minimal verifikasi. Susahnya, karena metode dan disiplin jurnalisme ini sering tak dikomunikasikan dengan baik, hal ini sering menimbulkan ketidaktahuan pada banyak orang. Ini terutama terkait dengan disiplin dalam jurnalisme yang biasa disebut objektivitas.
Orang sering bertanya soal objektivitas dalam jurnalisme. Apakah wartawan bisa objektif? Bagaimana dengan wartawan yang punya latar belakang pendidikan, sosial, ekonomi, kewarganegaraan, etnik, agama, dan pengalaman pribadi yang nilai-nilainya berbeda dengan nilai dari peristiwa yang diliputnya?
Kovach dan Rosenstiel menjelaskan, pada abad XIX tak dikenal konsep objektivitas itu. Wartawan zaman itu lebih sering memakai apa yang disebut sebagai realisme. Mereka percaya bila seorang reporter menggali fakta-fakta dan menyajikannya begitu saja, maka kebenaran bakal muncul dengan sendirinya.
Ide tentang realisme ini muncul bersamaan dengan terciptanya struktur karangan yang disebut sebagai piramida terbalik yakni fakta yang paling penting diletakkan pada awal laporan, demikian seterusnya, hingga yang paling kurang penting. Mereka berpendapat struktur itu membuat pembaca memahami berita secara alamiah.
Namun, pada awal abad XX, beberapa wartawan khawatir pada naifnya realisme ini. Pada 1919, Walter Lippmann dan Charles Merz, dua wartawan terkemuka New York, menulis sebuah analisis tentang latar belakang kultural The New York Times yang menimbulkan distorsi pada liputannya tentang revolusi Rusia. The New York Times lebih melaporkan tentang yang diharapkan pembaca ketimbang melaporkan apa yang terjadi.
Lippmann menekankan, jurnalisme tak cukup hanya dilaporkan oleh "saksi mata yang tak terlatih." Niat baik atau usaha yang jujur juga tak cukup. Lippmann mengatakan, inovasi baru pada zaman itu, misalnya bylines atau kolumnis, juga tidak cukup.
Bylines diciptakan agar nama setiap reporter diketahui publik yang bakal mendorong reporter bekerja lebih baik karena namanya terpampang jelas. Kolumnis adalah wartawan atau penulis senior yang tugasnya menerangkan suatu peristiwa dengan konteks yang lebih luas yang mungkin tak bisa dilaporkan reporter yang sibuk bekerja di lapangan.
Solusinya, menurut Lippmann, wartawan harus menguasai semangat ilmu pengetahuan. "There is but one kind of unity possible in a world as diverse as ours. It is unity of method, rather than aim; the unity of disciplined experiement. (Ada satu hal yang bisa disatukan dalam kehidupan yang berbeda-beda ini. Hal itu adalah keseragaman dalam mengembangkan metode, ketimbang sebagai tujuan; seragamnya metode yang ditarik dari pengalaman di lapangan)."
Baginya, metode jurnalisme bisa objektif. Tapi objektivitas bukanlah tujuan. Objektivitas adalah disiplin dalam melakukan verifikasi.
Sayang, dengan berjalannya waktu, pemahaman orisinal terhadap objektivitas ini diartikan keliru. Banyak penulis seperti Leo Rosten, yang mengarang sebuah buku sosiologi tentang wartawan, memakai istilah objektivitas buat merujuk pada pemahaman bahwa wartawan itu seyogyanya objektif.
Saya kira, di Indonesia juga banyak dosen-dosen komunikasi yang berpikir ala Rosten. Ini membingungkan. Para wartawan pun, pada gilirannya, ikut meragukan pengertian objektif dan menganggapnya sebagai ilusi.
Bagaimana metode yang objektif itu bisa dilakukan? Kovach dan Rosenstiel menerangkan, betapa kebanyakan wartawan hanya mendefinisikannya sebatas liputan berimbang (balance), fairness, serta akurat.
Berimbang maupun fairness hanyalah metode, bukan tujuan. Keseimbangan bisa menimbulkan distorsi bila dianggap sebagai tujuan. Kebenaran bisa kabur di tengah liputan yang berimbang. Fairness juga bisa disalah mengerti bila ia dianggap sebagai tujuan. Fair terhadap sumber atau fair terhadap pembaca?
Kovach dan Rosenstiel menawarkan lima konsep dalam verifikasi:
· Jangan menambah atau mengarang apa pun;
· Jangan menipu atau menyesatkan pembaca, pemirsa, maupun pendengar;
· Bersikaplah setransparan dan sejujur mungkin tentang metode dan motivasi Anda dalam melakukan reportase;
· Bersandarlah terutama pada reportase Anda sendiri;
· Bersikaplah rendah hati.
Kovach dan Rosenstiel tak berhenti hanya pada tataran konsep. Mereka juga menawarkan metode konkret dalam melakukan verifikasi. Pertama, penyuntingan secara skeptis. Penyuntingan harus dilakukan baris demi baris, kalimat demi kalimat. Banyak pertanyaan, banyak gugatan.
Kedua, memeriksa akurasi. David Yarnold dari San Jose Mercury News mengembangkan satu daftar pertanyaan yang disebutnya accuracy checklist.
· Apakah lead berita sudah didukung dengan data penunjang yang cukup?
· Apakah sudah ada orang lain yang diminta mengecek ulang, menghubungi atau menelepon semua nomor telepon, semua alamat, atau situs web yang ada dalam laporan tersebut? Bagaimana dengan penulisan nama dan jabatan?
· Apakah materi background guna memahami laporan ini sudah lengkap?
· Apakah semua pihak yang ada dalam laporan sudah diungkapkan dan apakah semua pihak sudah diberi hak untuk bicara?
· Apakah laporan itu berpihak atau membuat penghakiman yang mungkin halus terhadap salah satu pihak? Siapa orang yang kira-kira tak suka pada laporan ini lebih dari batas yang wajar?
· Apa ada yang kurang?
· Apakah semua kutipan akurat dan diberi keterangan dari sumber yang memang menga­takannya? Apakah kutipan-kutipan itu mencerminkan pendapat dari yang bersangkutan?
Ketiga, jangan berasumsi. Jangan percaya pada sumber-sumber resmi begitu saja. Wartawan harus mendekat pada sumber-sumber primer sedekat mungkin. David Protess dari Northwestern University memiliki satu metode. Dia memakai tiga lingkaran konsentris. Lingkaran paling luar berisi data sekunder terutama kliping media lain. Lingkaran yang lebih kecil adalah dokumen-dokumen, misalnya laporan pengadilan, laporan polisi, laporan keuangan, dan sebagainya. Lingkaran terdalam adalah saksi mata.
Metode keempat, pengecekan fakta ala Tom French yang disebut Tom French's Colored Pencil. Metode ini sederhana. French, seorang spesialis narasi panjang nonfiksi dari suratkabar St. Petersburg Times, Florida, memakai pensil berwarna untuk mengecek fakta-fakta dalam karangannya, baris per baris, kalimat per kalimat.
MUSIM dingin tahun lalu ketika salju membasahi Cambridge, saya sempat berbincang-bincang dengan Bill Kovach tentang hubungan wartawan dan sumbernya. Saya katakan, pernah ketika mengerjakan suatu liputan, secara tak sengaja, keluarga saya berhubungan cukup dekat dengan keluarga orang yang diwawancarai.
Kami diskusikan masalah itu. Singkat kata Kovach mengatakan, seorang wartawan "tidak mencari teman, tidak mencari musuh." Terkadang memang sulit menerima tawaran jasa baik, misalnya diantar pulang ketika kesulitan cari taksi, tapi juga tak perlu datang ke acara-acara sosial tempat independensi wartawan bisa salah dimengerti orang, karena ada saja pertemanan yang terbentuk lewat acara-acara itu.
"Seorang wartawan adalah makhluk asosial. Don't get me wrong," kata Kovach. Asosial bukan antisosial.
Ini sedikit menjelaskan elemen keempat: independensi. Kovach dan Rosenstiel berpendapat, wartawan boleh mengemukakan pendapatnya dalam kolom opini (tidak dalam berita). Mereka tetap dibilang wartawan walau menunjukkan sikapnya dengan jelas.
Kalau begitu wartawan boleh tak netral?
Menjadi netral bukanlah prinsip dasar jurnalisme. Impartialitas juga bukan yang dimaksud dengan objektivitas. Prinsipnya, wartawan harus bersikap independen terhadap orang-orang yang mereka liput.
Jadi, semangat dan pikiran untuk bersikap independen ini lebih penting ketimbang netralitas. Namun wartawan yang beropini tetap harus menjaga akurasi datanya. Mereka harus tetap melakukan verifikasi, mengabdi pada kepentingan masyarakat, dan memenuhi berbagai ketentuan lain yang harus ditaati seorang wartawan.
"Wartawan yang menulis kolom memang punya sudut pandangnya sendiri .... Tapi mereka tetap harus menghargai fakta di atas segalanya," kata Anthony Lewis, kolumnis The New York Times.
Menulis kolom ibaratnya, menurut Maggie Galagher dari Universal Press Syndicate, "bicara dengan seseorang yang tak setuju dengan saya."
Tapi wartawan yang menulis opini tetap tak diharapkan menulis tentang sesuatu dan ikut jadi pemain. Ini membuat si wartawan lebih sulit untuk melihat dengan perspektif berbeda. Lebih sulit untuk mendapatkan kepercayaan dari pihak lain. Lebih sulit lagi menyakinkan masyarakat bahwa si wartawan meletakkan kepentingan mereka lebih dulu ketimbang kepentingan kelompok tempat si wartawan ikut bermain.
Kesetiaan pada kebenaran inilah yang membedakan wartawan dengan juru penerang atau propaganda. Kebebasan berpendapat ada pada setiap orang. Tiap orang boleh bicara apa saja walau isinya propaganda atau menyebarkan kebencian. Tapi jurnalisme dan komunikasi bukan hal yang sama.
Independensi juga harus dijunjung tinggi di atas identitas lain seorang wartawan. Ada wartawan yang beragama Kristen, Islam, Hindu, Buddha, berkulit putih, keturunan Asia, keturunan Afrika, Hispanik, cacat, laki-laki, perempuan, dan sebagainya. Mereka bukan pertama-tama orang Kristen dan kedua baru wartawan.
Latar belakang etnik, agama, ideologi, atau kelas, seyogyanya dijadikan bahan informasi buat liputan mereka. Tapi bukan dijadikan alasan untuk mendikte wartawan. Kovach dan Rosenstiel juga percaya, ruang redaksi yang multikultural bakal menciptakan lingkungan yang lebih bermutu secara intelektual ketimbang yang seragam.
Secara bersama-sama wartawan dari berbagai latar ini menciptakan liputan yang lebih kaya. Tapi sebaliknya, keberagaman ini tak bisa diperlakukan sebagai tujuan. Ia adalah metode buat menghasilkan liputan yang baik.
Elemen jurnalisme yang kelima adalah memantau kekuasaan dan menyambung lidah mereka yang tertindas. Memantau kekuasaan bukan berarti melukai mereka yang hidupnya nyaman. Mungkin kalau dipakai istilah Indonesianya, "jangan cari gara-gara juga." Memantau kekuasaan dilakukan dalam kerangka ikut menegakkan demokrasi.
Salah satu cara pemantauan ini adalah melakukan investigative reporting –sejenis reportase yang berhasil menunjukkan siapa yang salah, siapa yang melakukan pelanggaran hukum, yang seharusnya jadi terdakwa, dalam suatu kejahatan publik yang sebelumnya dirahasiakan.
Sayangnya, di Amerika Serikat, saya kira juga di Indonesia, label investigasi sering dijadikan barang dagangan. Kovach dan Rosenstiel menceritakan bagaimana radio-radio di sana menyiarkan rumor dan dengan seenaknya mengatakan mereka melakukan investigasi. Susahnya, para pendengar, pemirsa, dan pembaca juga tak tahu apa investigasi itu.
Salah satu konsekuensi investigasi adalah kecenderungan media bersangkutan mengambil sikap terhadap isu yang mereka investigasi. Ada yang memakai istilah advocacy reporting sebagai pengganti istilah investigative reporting karena adanya kecenderungan ini. Padahal hasil investigasi bisa salah –dan dampak yang timbul besar sekali. Bukan saja orang-orang yang didakwa dibuat menderita tapi juga reputasi media bersangkutan bisa tercemar. Mungkin karena risiko ini, banyak media besar serba tanggung dalam melakukan investigasi. Mereka lebih suka memperdagangkan labelnya saja tapi tak benar-benar masuk ke dalam investigasi.
Bob Woodward dari The Washington Post, salah satu wartawan yang investigasinya ikut mendorong mundurnya Presiden Richard Nixon karena skandal Watergate pada 1970-an, mengatakan: salah satu syarat investigasi adalah "pikiran yang terbuka."
Elemen keenam, jurnalisme sebagai forum publik. Kovach dan Rosenstiel menerangkan zaman dahulu banyak suratkabar yang menjadikan ruang tamu mereka sebagai forum publik di mana orang-orang bisa datang, menyampaikan pendapatnya, kritik, dan sebagainya. Di sana juga disediakan cerutu serta minuman.
Logikanya, manusia itu punya rasa ingin tahu yang alamiah. Bila media melaporkan, katakanlah dari jadwal-jadwal acara sampai kejahatan publik hingga timbulnya suatu tren sosial, jurnalisme menggelitik rasa ingin tahu orang banyak. Ketika mereka bereaksi terhadap laporan-laporan itu, maka masyarakat pun dipenuhi komentar –mungkin lewat program telepon di radio, lewat talk show televisi, opini pribadi, surat pembaca, ruang tamu suratkabar, dan sebagainya. Pada gilirannya, komentar-komentar ini didengar politisi dan birokrat yang menjalankan roda pemerintahan. Memang tugas merekalah untuk menangkap aspirasi masyarakat. Dengan demikian, fungsi jurnalisme sebagai forum publik sangatlah penting karena –seperti pada zaman Yunani kuno– lewat forum inilah demokrasi ditegakkan.
Sekarang, teknologi modern membuat forum ini lebih bertenaga: ada siaran langsung televisi maupun chat room di internet. Tapi kecepatan yang menyertai teknologi baru ini juga meningkatkan kemampuan terjadinya distorsi maupun informasi yang menyesatkan yang potensial merusak reputasi jurnalisme.
Kovach dan Rosenstiel berpendapat jurnalisme yang mengakomodasi debat publik harus dibedakan dengan "jurnalisme semu," yang mengadakan debat secara artifisial dengan tujuan menghibur atau melakukan provokasi.
Munculnya jurnalisme semu itu terjadi karena debatnya tak dibuat berdasarkan fakta-fakta secara memadai. "Talk is cheap," kata Kovach dan Rosenstiel. Biaya produksi sebuah talk show kecil sekali dibandingkan biaya membangun infrastruktur reportase. Sebuah media yang hendak membangun infrastruktur reportase bukan saja harus menggaji puluhan, bahkan ratusan wartawan, tapi juga membiayai operasi mereka. Belum lagi bila media bersangkutan hendak membuka biro-biro baik di dalam negeri maupun di luar negeri. Ngomong itu murah. Mendapatkan komentar-komentar lewat telepon dan disiarkan secara langsung sangat jauh lebih murah ketimbang melakukan reportase.
Jurnalisme semu juga muncul karena gaya lebih dipentingkan ketimbang esensi. Jurnalisme semu pada gilirannya membahayakan demokrasi karena ia bukannya memperlebar nuansa suatu perdebatan tapi lebih memfokuskan dirinya pada isu-isu yang sempit, yang terpolarisasi. Buntutnya, upaya mencari kompromi, sesuatu yang esensial dalam demokrasi, juga tak terbantu oleh jurnalisme macam ini. Jurnalisme semu tak memberikan pencerahan tapi malah mengajak orang berkelahi lebih sengit.
SELAMA dua semester mengikuti program Nieman Fellowship, Bill Kovach mengusulkan agar kami ikut suatu kelas tentang penulisan nonfiksi. Dia menekankan perlunya wartawan belajar menulis narasi karena kekuatan jurnalisme cetak sangat ditentukan kemampuan ini. Apalagi pada zaman di mana media elektronik bisa menyampaikan berita lebih cepat dari media cetak. Saya mengikuti nasihat Kovach dan belajar tentang suatu genre yang disebut narrative report atau jurnalisme kesastraan.
Anjuran itu sesuai dengan elemen ketujuh bahwa jurnalisme harus memikat sekaligus relevan. Mungkin meminjam moto majalah Tempo, jurnalisme itu harus "enak dibaca dan perlu." Selama mengikuti kelas narasi itu, saya belajar banyak tentang komposisi, tentang etika, tentang naik-turunnya emosi pembaca, dan sebagainya.
Memikat sekaligus relevan. Ironisnya, dua faktor ini justru sering dianggap dua hal yang bertolak belakang. Laporan yang memikat dianggap laporan yang lucu, sensasional, menghibur, dan penuh tokoh selebritas. Tapi laporan yang relevan dianggap kering, angka-angka, dan membosankan.
Padahal bukti-bukti cukup banyak bahwa masyarakat mau keduanya. Orang membaca berita olah raga tapi juga berita ekonomi. Orang baca resensi buku tapi juga mengisi teka-teki silang. Majalah The New Yorker terkenal bukan saja karena kartun-kartunnya yang lucu, tapi juga laporan-laporannya yang panjang dan serius.
Kovach dan Rosenstiel mengatakan, wartawan yang berpendapat macam itu pada dasarnya malas, bodoh, bias, dan tak tahu bagaimana harus menyajikan jurnalisme yang bermutu.
Menulis narasi yang dalam, sekaligus memikat, butuh waktu lama. Banyak contoh bagaimana laporan panjang dikerjakan selama berbulan-bulan, terkadang malah bertahun-tahun. Padahal waktu adalah sebuah kemewahan dalam bisnis media.
Di sisi lain, daya tarik hiburan memang luar biasa. Pada 1977 kulit muka majalah Newsweek dan Time 31 persen diisi gambar tokoh politik atau pemimpin internasional serta 15 persen berilustrasi bintang hiburan. Pada 1997, kulit muka kedua majalah internasional ini mengalami penurunan 60 persen dalam hal tokoh politik. Sedangkan 40 persen diisi bintang hiburan.
Duet Kovach-Rosenstiel sebelumnya menerbitkan buku Warp Speed: American in the Age of Mixed Media. Di sini mereka melakukan analisis tajam terhadap liputan media Amerika atas skandal Presiden Bill Clinton dan Monica Lewinsky. Kebanyakan media suka menekankan pada sisi sensasi skandal itu ketimbang isu yang lebih relevan.
Elemen kedelapan adalah kewajiban wartawan menjadikan beritanya proporsional dan komprehensif. Kovach dan Rosenstiel mengatakan, banyak suratkabar yang menyajikan berita yang tak proporsional. Judul-judulnya sensional. Penekanannya pada aspek yang emosional. Mungkin kalau di Jakarta contoh terbaik harian Rakyat Merdeka. Suratkabar macam ini sering kali tidak proporsional dalam pemberitaannya.
Kovach dan Rosenstiel mengambil perumpamaan menarik. Suratkabar sensasional diibaratkan seseorang yang ingin menarik perhatian pembaca dengan pergi ke tempat umum, lalu melepas pakaian, telanjang. Orang pasti suka dan melihatnya. Bagaimana orang telanjang itu menjaga kesetiaan pemirsanya?
Ini berbeda dengan pemain gitar. Dia datang ke tempat umum, memainkan gitar, dan ada sedikit orang yang memperhatikan. Tapi seiring dengan kualitas permainan gitarnya, makin hari makin banyak orang yang datang untuk mendengarkan. Pemain gitar ini contoh suratkabar yang proporsional.
Proporsional serta komprehensif dalam jurnalisme memang tak seilmiah pembuatan peta. Berita mana yang diangkat, mana yang penting, mana yang dijadikan berita utama, penilaiannya bisa berbeda antara wartawan dan pembaca. Pemilihan berita juga sangat subjektif. Kovach dan Rosenstiel bilang, justru karena subjektif inilah wartawan harus senantiasa ingat agar proporsional dalam menyajikan berita.
Masyarakat bisa tahu kalau si wartawan mencoba proporsional atau tidak. Sebaliknya masyarakat juga tahu kalau wartawan cuma mau bertelanjang bulat.
SETIAP wartawan harus mendengarkan hati nuraninya. Dari ruang redaksi hingga ruang direksi, semua wartawan seyogyanya punya pertimbangan pribadi tentang etika dan tanggung jawab sosial. Ini elemen kesembilan.
"Setiap individu reporter harus menetapkan kode etiknya sendiri, standarnya sendiri, dan berdasarkan model itulah dia membangun karier," kata wartawan televisi Bill Kurtis dari A&E Network.
Menjalankan prinsip ini tak mudah, karena diperlukan suasana kerja yang nyaman, yang bebas, tempat setiap orang dirangsang untuk bersuara. "Bos, saya kira keputusan Anda keliru!" atau "Pak, ini kok kesannya rasialis." Dua contoh kalimat itu seyogyanya bisa muncul di ruang redaksi.
Menciptakan suasana ini tak mudah karena berdasarkan kebutuhannya, ruang redaksi bukanlah tempat demokrasi dijalankan. Ruang redaksi bahkan berkecenderungan menciptakan kediktatoran. Seseorang di puncak organisasi media memang harus bisa mengambil keputusan –menerbitkan atau tidak menerbitkan sebuah laporan, membiarkan atau mencabut sebuah kutipan yang panas– agar media bersangkutan bisa menepati deadline.
Membolehkan tiap individu wartawan menyuarakan hati nurani pada dasarnya membuat urusan manajemen jadi lebih kompleks. Tugas para redaktur untuk memahami persoalan ini. Mereka memang mengambil keputusan final tapi mereka harus senantiasa membuka diri agar tiap orang yang hendak memberi kritik atau komentar bisa datang langsung pada mereka.
Bob Woodward dari The Washington Post mengatakan, "Jurnalisme yang paling baik sering kali muncul ketika ia menentang manajemennya."
Pada hari pertama Nieman Fellowship, Bill Kovach mengatakan pada 24 peserta program itu bahwa pintunya selalu terbuka. Terkadang dia sering harus mengejar deadline dan mengetik. "Raut wajah saya bisa galak sekali bila seseorang muncul di pintu saya. Tapi jangan digubris. Masuk dan bicaralah. ***
Copyright © 2001, PANTAU