Sembilan Elemen Jurnalisme
Dua wartawan Amerika dalam kejernihan.
Oleh:
ANDREAS HARSONOHATI nurani jurnalisme Amerika ada pada Bill Kovach. Ini ungkapan yang sering dipakai orang bila bicara soal Kovach. Thomas E. Patterson dari Universitas Harvard mengatakan Kovach punya "karier panjang dan terhormat" sebagai wartawan. Goenawan Mohamad, redaktur pendiri majalah Tempo, merasa sulit "mencari kesalahan" Kovach.
Wartawan yang nyaris tanpa cacat itulah yang menulis buku The Elements of Journalism bersama rekannya, Tom Rosenstiel. Kovach memulai debutnya sebagai wartawan pada 1959 di sebuah suratkabar kecil sebelum bergabung dengan The New York Times, salah satu suratkabar terbaik di Amerika Serikat, dan membangun kariernya selama 18 tahun di sana.
Kovach mundur ketika ditawari jadi pemimpin redaksi harian Atlanta Journal-Constitution. Hanya dalam dua tahun, Kovach membuat harian ini mendapatkan dua Pulitzer Prize, penghargaan bergengsi dalam jurnalisme Amerika. Total dalam kariernya, Kovach menugaskan dan menyunting lima laporan yang mendapatkan Pulitzer Prize. Pada 1989-2000 Kovach jadi kurator Nieman Foundation for Journalism di Universitas Harvard yang tujuannya meningkatkan mutu jurnalisme.
Sedangkan Tom Rosentiel mantan wartawan harian The Los Angeles Times, spesialis media dan jurnalisme. Kini, sehari-harinya Rosenstiel menjalankan Committee of Concerned Journalists –sebuah organisasi di Washington D.C. yang melakukan riset dan diskusi tentang media.
Dalam buku ini, Kovach dan Rosenstiel merumuskan sembilan elemen jurnalisme. Kesimpulan ini didapat setelah Committee of Concerned Journalists mengadakan banyak diskusi dan wawancara yang melibatkan 1.200 wartawan dalam periode tiga tahun.
Sembilan elemen ini sama kedudukannya. Tapi Kovach dan Rosenstiel menempatkan elemen jurnalisme yang pertama adalah kebenaran, yang –ironisnya– paling membingungkan.
Kebenaran yang mana? Bukankan kebenaran bisa dipandang dari kacamata berbeda-beda? Tiap-tiap agama, ideologi, atau filsafat punya dasar pemikiran tentang kebenaran yang belum tentu persis sama satu dengan yang lain. Sejarah pun sering direvisi. Kebenaran menurut siapa?
Bagaimana dengan bias seorang wartawan? Tidakkah bias pandangan seorang wartawan, karena latar belakang sosial, pendidikan, kewarganegaraan, kelompok etnik, atau agamanya, bisa membuat wartawan menghasilkan penafsiran kebenaran yang berbeda-beda?
Kovach dan Rosenstiel menerangkan, masyarakat butuh prosedur dan proses guna mendapatkan apa yang disebut kebenaran fungsional. Polisi melacak dan menangkap tersangka berdasarkan kebenaran fungsional. Hakim menjalankan peradilan juga berdasarkan kebenaran fungsional. Pabrik-pabrik diatur, pajak dikumpulkan, dan hukum dibuat. Guru-guru mengajarkan sejarah, fisika, atau biologi pada anak-anak sekolah. Semuanya merupakan kebenaran fungsional.
Namun, yang dianggap kebenaran senantiasa bisa direvisi. Seorang terdakwa bisa dibebaskan karena tak terbukti salah. Hakim bisa keliru. Pelajaran sejarah, fisika, biologi bisa salah. Bahkan hukum-hukum ilmu alam pun bisa direvisi.
Hal ini pula yang dilakukan jurnalisme. Bukan kebenaran dalam tataran filosofis. Tapi kebenaran dalam tataran fungsional. Orang butuh informasi lalu lintas agar bisa mengambil rute yang lancar. Orang butuh informasi harga, kurs mata uang, ramalan cuaca, hasil pertandingan bola, dan sebagainya.
Selain itu kebenaran yang diberitakan media dibentuk lapisan demi lapisan. Kovach dan Rosenstiel mengambil contoh tabrakan lalu lintas. Hari pertama seorang wartawan memberitakan kecelakaan itu. Di mana, jam berapa, jenis kendaraannya apa, nomor polisi berapa, korbannya bagaimana. Hari kedua berita itu mungkin ditanggapi pihak lain. Mungkin polisi, mungkin keluarga korban. Mungkin ada koreksi. Maka pada hari ketiga, koreksi itulah yang diberitakan. Ini juga bertambah ketika ada pembaca mengirim surat pembaca, atau ada tanggapan lewat kolom opini. Demikian seterusnya.
Jadi, kebenaran dibentuk hari demi hari, lapis demi lapis. Ibaratnya stalagmit, tetes demi tetes kebenaran itu membentuk stalagmit yang besar. Makan waktu, prosesnya lama. Tapi dari kebenaran sehari-hari ini pula terbentuk bangunan kebenaran yang lebih lengkap.
SAYA pribadi beruntung mengenal Kovach ketika berkesempatan mengikuti program Nieman Fellowship pada 1999-2000 dan Kovach jadi kuratornya. Di sana Kovach melatih wartawan-wartawan dari berbagai belahan dunia untuk lebih memahami pilihan-pilihan mereka dalam jurnalisme. Tekanannya jelas: memilih kebenaran!
Tapi mengetahui mana yang benar dan mana yang salah saja tak cukup. Kovach dan Rosenstiel menerangkan elemen kedua: "Kepada siapa wartawan harus menempatkan loyalitasnya? Pada perusahaannya? Pada pembacanya? Atau pada masyarakat?"
Pertanyaan itu penting, karena sejak 1980-an banyak wartawan Amerika yang berubah jadi pebisnis. Sebuah survei menemukan separuh wartawan Amerika menghabiskan setidaknya sepertiga waktunya buat urusan manajemen ketimbang jurnalisme.
Ini memprihatinkan karena wartawan punya tanggung jawab sosial yang tak jarang bisa melangkahi kepentingan perusahaan tempat mereka bekerja. Walau demikian –di sini uniknya– tanggung jawab itu sekaligus sumber keberhasilan perusahaan mereka. Perusahaan media yang mendahulukan kepentingan masyarakat justru lebih menguntungkan ketimbang yang hanya mementingkan bisnisnya sendiri.
Mari melihat dua contoh. Pada 1893, seorang pengusaha membeli harian The New York Times. Adolph Ochs percaya bahwa penduduk New York capek dan tak puas pada suratkabar-suratkabar kuning yang kebanyakan isinya sensasional. Ochs hendak menyajikan suratkabar serius, mengutamakan kepentingan publik, dan menulis, "... to give the news impartiality, without fear or favor, regardless of party, sect or interests involved."
Pada 1933, Eugene Meyer membeli harian The Washington Post dan menyatakan di halaman suratkabar itu, "Dalam rangka menyajikan kebenaran, suratkabar ini kalau perlu akan mengorbankan keuntungan materialnya, jika tindakan itu diperlukan demi kepentingan masyarakat."
Prinsip Ochs dan Meyer terbukti benar. Dua harian itu menjadi institusi publik yang prestisius sekaligus bisnis yang menguntungkan.
Kovach dan Rosenstiel khawatir, banyaknya wartawan yang mengurusi bisnis bisa mengaburkan misi media dalam melayani kepentingan masyarakat. Bisnis media berbeda dengan bisnis kebanyakan. Dalam bisnis media ada sebuah segitiga. Sisi pertama pembaca, pemirsa, atau pendengar. Sisi kedua: pemasang iklan. Sisi ketiga: masyarakat (citizens).
Berbeda dengan kebanyakan bisnis, dalam bisnis media, pemirsa, pendengar, atau pembaca bukanlah pelanggan (customer). Kebanyakan media, termasuk televisi, radio, maupun dotcom, memberikan berita secara gratis. Orang tak membayar untuk menonton televisi, membaca internet, atau mendengarkan radio. Bahkan dalam bisnis suratkabar pun, kebanyakan pembaca hanya membayar sebagian kecil dari ongkos produksi. Ada subsidi buat pembaca.
Adanya kepercayaan publik inilah yang kemudian "dipinjamkan" perusahaan media kepada para pemasang iklan. Dalam hal ini pemasang iklan memang pelanggan. Tapi hubungan ini seyogyanya tak merusak hubungan yang unik antara media dengan pembaca, pemirsa, dan pendengarnya.
Kovach dan Rosenstiel prihatin karena banyak media Amerika mengaitkan besarnya bonus atau pendapatan redaktur mereka dengan besarnya keuntungan yang diperoleh perusahaan bersangkutan. Sebuah survei menemukan, 71 persen redaktur Amerika menerapkan sebuah gaya manajemen yang biasa disebut management by objections.
Model ini ditemukan guru manajemen Peter F. Drucker. Idenya, para manajer diminta menentukan target sekaligus imbalan bila mereka berhasil mencapainya.
Manajemen model ini, menurut Kovach dan Rosenstiel, bisa mengaburkan tanggung jawab sosial para redaktur. Mengaitkan pendapatan seorang redaktur dengan penjualan iklan atau keuntungan perusahaan sangat mungkin untuk mengingkari prinsip loyalitas redaktur terhadap masyarakat. Loyalitas mereka bisa bergeser pada peningkatan keuntungan perusahaan karena dari sana pula mereka mendapatkan bonus.
BANYAK wartawan mengatakan, The Elements of Journalism perlu dipelajari orang media. Suthichai Yoon, redaktur pendiri harian The Nation di Bangkok, menulis bahwa renungan dua wartawan yang "sudah mengalami pencerahan" ini perlu dibaca wartawan Thai.
I Made Suarjana, dari tim pendidikan majalah Gatra, mengatakan pada saya bahwa Gatra sedang menerjemahkan buku ini buat keperluan internal mereka. "Buku ini kami pandang mengembalikan pada basic jurnalisme," kata Suarjana.
Salah satu bagian penting buku ini berupa penjelasan Bill Kovach dan Tom Rosenstiel tentang elemen ketiga. Mereka mengatakan esensi jurnalisme adalah disiplin dalam melakukan verifikasi.
Disiplin ini mampu membuat wartawan menyaring desas-desus, gosip, lupa, kekeliruan, manipulasi, guna mendapatkan informasi yang akurat. Disiplin verifikasi inilah yang membedakan jurnalisme dengan hiburan, propaganda, fiksi, atau seni.
Mereka berpendapat, "saudara sepupu" hiburan yang disebut infotainment (dari kata information dan entertainment) harus dimengerti para wartawan agar mereka tahu mana batas-batasnya. Infotainment hanya terfokus pada apa-apa yang menarik perhatian pemirsa dan pendengar. Jurnalisme meliput kepentingan masyarakat yang bisa menghibur tapi juga bisa tidak. Wartawan yang baik seyogyanya tak menganggap infotainment sebagai jurnalisme dan media yang baik juga tak perlu mengusung infotainment.
Selain itu, batas antara fiksi dan jurnalisme harus dibuat sejelas-jelasnya. Jurnalisme tak bisa dicampuri fiksi setitik pun.
Tapi batasan ini terkadang bisa jadi sulit ketika wartawan bekerja di lapangan. Kovach dan Rosenstiel mengambil contoh pengalaman wartawan Mike Wallace dari CBS yang difilmkan dalam The Insider. Film ini bercerita tentang keengganan jaringan televisi CBS menayangkan sebuah laporan tentang bagaimana industri rokok Amerika memakai zat kimia tertentu buat meningkatkan kecanduan perokok.
Kejadian itu sebuah fakta. Namun Wallace keberatan karena ada kata-kata yang diciptakan dan seolah-olah diucapkan Wallace. Dia merasa batas fiksi dan fakta jadi kabur dalam The Insider.
Sutradara Michael Mann membela diri dan mengatakan film itu "pada dasarnya akurat," karena Wallace memang takut dan takluk pada tekanan pabrik rokok. Jika kata-kata ada yang diciptakan atau motivasi Wallace dibuat berbeda antara keadaan nyata dan dalam film, Mann berpendapat itu bisa diterima.
Kovach dan Rosenstiel mengatakan dalam kasus itu keterpaduan (utility) jadi nilai tertinggi ketimbang kebenaran harfiah. Fakta disubordinasikan kepada kepentingan fiksi. Mann membuat film itu dengan tambahan drama agar menarik perhatian penonton atau setidaknya agar skenario film itu brsifat terpadu. Fakta dan jurnalisme tak bisa disubordinasikan kepada fiksi.
Lantas bagaimana dengan beragamnya standar jurnalisme? Tidakkah disiplin tiap wartawan dalam melakukan verifikasi bersifat personal? Bagaimana wartawan bisa melakukan verifikasi terhadap fakta bila mereka punya cara pandang yang berbeda-beda?
Kovach dan Ronsenstiel menerangkan, memang tak setiap wartawan punya pemahaman sama. Tidak setiap wartawan tahu standar minimal verifikasi. Susahnya, karena metode dan disiplin jurnalisme ini sering tak dikomunikasikan dengan baik, hal ini sering menimbulkan ketidaktahuan pada banyak orang. Ini terutama terkait dengan disiplin dalam jurnalisme yang biasa disebut objektivitas.
Orang sering bertanya soal objektivitas dalam jurnalisme. Apakah wartawan bisa objektif? Bagaimana dengan wartawan yang punya latar belakang pendidikan, sosial, ekonomi, kewarganegaraan, etnik, agama, dan pengalaman pribadi yang nilai-nilainya berbeda dengan nilai dari peristiwa yang diliputnya?
Kovach dan Rosenstiel menjelaskan, pada abad XIX tak dikenal konsep objektivitas itu. Wartawan zaman itu lebih sering memakai apa yang disebut sebagai realisme. Mereka percaya bila seorang reporter menggali fakta-fakta dan menyajikannya begitu saja, maka kebenaran bakal muncul dengan sendirinya.
Ide tentang realisme ini muncul bersamaan dengan terciptanya struktur karangan yang disebut sebagai piramida terbalik yakni fakta yang paling penting diletakkan pada awal laporan, demikian seterusnya, hingga yang paling kurang penting. Mereka berpendapat struktur itu membuat pembaca memahami berita secara alamiah.
Namun, pada awal abad XX, beberapa wartawan khawatir pada naifnya realisme ini. Pada 1919, Walter Lippmann dan Charles Merz, dua wartawan terkemuka New York, menulis sebuah analisis tentang latar belakang kultural The New York Times yang menimbulkan distorsi pada liputannya tentang revolusi Rusia. The New York Times lebih melaporkan tentang yang diharapkan pembaca ketimbang melaporkan apa yang terjadi.
Lippmann menekankan, jurnalisme tak cukup hanya dilaporkan oleh "saksi mata yang tak terlatih." Niat baik atau usaha yang jujur juga tak cukup. Lippmann mengatakan, inovasi baru pada zaman itu, misalnya bylines atau kolumnis, juga tidak cukup.
Bylines diciptakan agar nama setiap reporter diketahui publik yang bakal mendorong reporter bekerja lebih baik karena namanya terpampang jelas. Kolumnis adalah wartawan atau penulis senior yang tugasnya menerangkan suatu peristiwa dengan konteks yang lebih luas yang mungkin tak bisa dilaporkan reporter yang sibuk bekerja di lapangan.
Solusinya, menurut Lippmann, wartawan harus menguasai semangat ilmu pengetahuan. "There is but one kind of unity possible in a world as diverse as ours. It is unity of method, rather than aim; the unity of disciplined experiement. (Ada satu hal yang bisa disatukan dalam kehidupan yang berbeda-beda ini. Hal itu adalah keseragaman dalam mengembangkan metode, ketimbang sebagai tujuan; seragamnya metode yang ditarik dari pengalaman di lapangan)."
Baginya, metode jurnalisme bisa objektif. Tapi objektivitas bukanlah tujuan. Objektivitas adalah disiplin dalam melakukan verifikasi.
Sayang, dengan berjalannya waktu, pemahaman orisinal terhadap objektivitas ini diartikan keliru. Banyak penulis seperti Leo Rosten, yang mengarang sebuah buku sosiologi tentang wartawan, memakai istilah objektivitas buat merujuk pada pemahaman bahwa wartawan itu seyogyanya objektif.
Saya kira, di Indonesia juga banyak dosen-dosen komunikasi yang berpikir ala Rosten. Ini membingungkan. Para wartawan pun, pada gilirannya, ikut meragukan pengertian objektif dan menganggapnya sebagai ilusi.
Bagaimana metode yang objektif itu bisa dilakukan? Kovach dan Rosenstiel menerangkan, betapa kebanyakan wartawan hanya mendefinisikannya sebatas liputan berimbang (balance), fairness, serta akurat.
Berimbang maupun fairness hanyalah metode, bukan tujuan. Keseimbangan bisa menimbulkan distorsi bila dianggap sebagai tujuan. Kebenaran bisa kabur di tengah liputan yang berimbang. Fairness juga bisa disalah mengerti bila ia dianggap sebagai tujuan. Fair terhadap sumber atau fair terhadap pembaca?
Kovach dan Rosenstiel menawarkan lima konsep dalam verifikasi:
· Jangan menambah atau mengarang apa pun;
· Jangan menipu atau menyesatkan pembaca, pemirsa, maupun pendengar;
· Bersikaplah setransparan dan sejujur mungkin tentang metode dan motivasi Anda dalam melakukan reportase;
· Bersandarlah terutama pada reportase Anda sendiri;
· Bersikaplah rendah hati.
Kovach dan Rosenstiel tak berhenti hanya pada tataran konsep. Mereka juga menawarkan metode konkret dalam melakukan verifikasi. Pertama, penyuntingan secara skeptis. Penyuntingan harus dilakukan baris demi baris, kalimat demi kalimat. Banyak pertanyaan, banyak gugatan.
Kedua, memeriksa akurasi. David Yarnold dari San Jose Mercury News mengembangkan satu daftar pertanyaan yang disebutnya accuracy checklist.
· Apakah lead berita sudah didukung dengan data penunjang yang cukup?
· Apakah sudah ada orang lain yang diminta mengecek ulang, menghubungi atau menelepon semua nomor telepon, semua alamat, atau situs web yang ada dalam laporan tersebut? Bagaimana dengan penulisan nama dan jabatan?
· Apakah materi background guna memahami laporan ini sudah lengkap?
· Apakah semua pihak yang ada dalam laporan sudah diungkapkan dan apakah semua pihak sudah diberi hak untuk bicara?
· Apakah laporan itu berpihak atau membuat penghakiman yang mungkin halus terhadap salah satu pihak? Siapa orang yang kira-kira tak suka pada laporan ini lebih dari batas yang wajar?
· Apa ada yang kurang?
· Apakah semua kutipan akurat dan diberi keterangan dari sumber yang memang mengatakannya? Apakah kutipan-kutipan itu mencerminkan pendapat dari yang bersangkutan?
Ketiga, jangan berasumsi. Jangan percaya pada sumber-sumber resmi begitu saja. Wartawan harus mendekat pada sumber-sumber primer sedekat mungkin. David Protess dari Northwestern University memiliki satu metode. Dia memakai tiga lingkaran konsentris. Lingkaran paling luar berisi data sekunder terutama kliping media lain. Lingkaran yang lebih kecil adalah dokumen-dokumen, misalnya laporan pengadilan, laporan polisi, laporan keuangan, dan sebagainya. Lingkaran terdalam adalah saksi mata.
Metode keempat, pengecekan fakta ala Tom French yang disebut Tom French's Colored Pencil. Metode ini sederhana. French, seorang spesialis narasi panjang nonfiksi dari suratkabar St. Petersburg Times, Florida, memakai pensil berwarna untuk mengecek fakta-fakta dalam karangannya, baris per baris, kalimat per kalimat.
MUSIM dingin tahun lalu ketika salju membasahi Cambridge, saya sempat berbincang-bincang dengan Bill Kovach tentang hubungan wartawan dan sumbernya. Saya katakan, pernah ketika mengerjakan suatu liputan, secara tak sengaja, keluarga saya berhubungan cukup dekat dengan keluarga orang yang diwawancarai.
Kami diskusikan masalah itu. Singkat kata Kovach mengatakan, seorang wartawan "tidak mencari teman, tidak mencari musuh." Terkadang memang sulit menerima tawaran jasa baik, misalnya diantar pulang ketika kesulitan cari taksi, tapi juga tak perlu datang ke acara-acara sosial tempat independensi wartawan bisa salah dimengerti orang, karena ada saja pertemanan yang terbentuk lewat acara-acara itu.
"Seorang wartawan adalah makhluk asosial. Don't get me wrong," kata Kovach. Asosial bukan antisosial.
Ini sedikit menjelaskan elemen keempat: independensi. Kovach dan Rosenstiel berpendapat, wartawan boleh mengemukakan pendapatnya dalam kolom opini (tidak dalam berita). Mereka tetap dibilang wartawan walau menunjukkan sikapnya dengan jelas.
Kalau begitu wartawan boleh tak netral?
Menjadi netral bukanlah prinsip dasar jurnalisme. Impartialitas juga bukan yang dimaksud dengan objektivitas. Prinsipnya, wartawan harus bersikap independen terhadap orang-orang yang mereka liput.
Jadi, semangat dan pikiran untuk bersikap independen ini lebih penting ketimbang netralitas. Namun wartawan yang beropini tetap harus menjaga akurasi datanya. Mereka harus tetap melakukan verifikasi, mengabdi pada kepentingan masyarakat, dan memenuhi berbagai ketentuan lain yang harus ditaati seorang wartawan.
"Wartawan yang menulis kolom memang punya sudut pandangnya sendiri .... Tapi mereka tetap harus menghargai fakta di atas segalanya," kata Anthony Lewis, kolumnis The New York Times.
Menulis kolom ibaratnya, menurut Maggie Galagher dari Universal Press Syndicate, "bicara dengan seseorang yang tak setuju dengan saya."
Tapi wartawan yang menulis opini tetap tak diharapkan menulis tentang sesuatu dan ikut jadi pemain. Ini membuat si wartawan lebih sulit untuk melihat dengan perspektif berbeda. Lebih sulit untuk mendapatkan kepercayaan dari pihak lain. Lebih sulit lagi menyakinkan masyarakat bahwa si wartawan meletakkan kepentingan mereka lebih dulu ketimbang kepentingan kelompok tempat si wartawan ikut bermain.
Kesetiaan pada kebenaran inilah yang membedakan wartawan dengan juru penerang atau propaganda. Kebebasan berpendapat ada pada setiap orang. Tiap orang boleh bicara apa saja walau isinya propaganda atau menyebarkan kebencian. Tapi jurnalisme dan komunikasi bukan hal yang sama.
Independensi juga harus dijunjung tinggi di atas identitas lain seorang wartawan. Ada wartawan yang beragama Kristen, Islam, Hindu, Buddha, berkulit putih, keturunan Asia, keturunan Afrika, Hispanik, cacat, laki-laki, perempuan, dan sebagainya. Mereka bukan pertama-tama orang Kristen dan kedua baru wartawan.
Latar belakang etnik, agama, ideologi, atau kelas, seyogyanya dijadikan bahan informasi buat liputan mereka. Tapi bukan dijadikan alasan untuk mendikte wartawan. Kovach dan Rosenstiel juga percaya, ruang redaksi yang multikultural bakal menciptakan lingkungan yang lebih bermutu secara intelektual ketimbang yang seragam.
Secara bersama-sama wartawan dari berbagai latar ini menciptakan liputan yang lebih kaya. Tapi sebaliknya, keberagaman ini tak bisa diperlakukan sebagai tujuan. Ia adalah metode buat menghasilkan liputan yang baik.
Elemen jurnalisme yang kelima adalah memantau kekuasaan dan menyambung lidah mereka yang tertindas. Memantau kekuasaan bukan berarti melukai mereka yang hidupnya nyaman. Mungkin kalau dipakai istilah Indonesianya, "jangan cari gara-gara juga." Memantau kekuasaan dilakukan dalam kerangka ikut menegakkan demokrasi.
Salah satu cara pemantauan ini adalah melakukan investigative reporting –sejenis reportase yang berhasil menunjukkan siapa yang salah, siapa yang melakukan pelanggaran hukum, yang seharusnya jadi terdakwa, dalam suatu kejahatan publik yang sebelumnya dirahasiakan.
Sayangnya, di Amerika Serikat, saya kira juga di Indonesia, label investigasi sering dijadikan barang dagangan. Kovach dan Rosenstiel menceritakan bagaimana radio-radio di sana menyiarkan rumor dan dengan seenaknya mengatakan mereka melakukan investigasi. Susahnya, para pendengar, pemirsa, dan pembaca juga tak tahu apa investigasi itu.
Salah satu konsekuensi investigasi adalah kecenderungan media bersangkutan mengambil sikap terhadap isu yang mereka investigasi. Ada yang memakai istilah advocacy reporting sebagai pengganti istilah investigative reporting karena adanya kecenderungan ini. Padahal hasil investigasi bisa salah –dan dampak yang timbul besar sekali. Bukan saja orang-orang yang didakwa dibuat menderita tapi juga reputasi media bersangkutan bisa tercemar. Mungkin karena risiko ini, banyak media besar serba tanggung dalam melakukan investigasi. Mereka lebih suka memperdagangkan labelnya saja tapi tak benar-benar masuk ke dalam investigasi.
Bob Woodward dari The Washington Post, salah satu wartawan yang investigasinya ikut mendorong mundurnya Presiden Richard Nixon karena skandal Watergate pada 1970-an, mengatakan: salah satu syarat investigasi adalah "pikiran yang terbuka."
Elemen keenam, jurnalisme sebagai forum publik. Kovach dan Rosenstiel menerangkan zaman dahulu banyak suratkabar yang menjadikan ruang tamu mereka sebagai forum publik di mana orang-orang bisa datang, menyampaikan pendapatnya, kritik, dan sebagainya. Di sana juga disediakan cerutu serta minuman.
Logikanya, manusia itu punya rasa ingin tahu yang alamiah. Bila media melaporkan, katakanlah dari jadwal-jadwal acara sampai kejahatan publik hingga timbulnya suatu tren sosial, jurnalisme menggelitik rasa ingin tahu orang banyak. Ketika mereka bereaksi terhadap laporan-laporan itu, maka masyarakat pun dipenuhi komentar –mungkin lewat program telepon di radio, lewat talk show televisi, opini pribadi, surat pembaca, ruang tamu suratkabar, dan sebagainya. Pada gilirannya, komentar-komentar ini didengar politisi dan birokrat yang menjalankan roda pemerintahan. Memang tugas merekalah untuk menangkap aspirasi masyarakat. Dengan demikian, fungsi jurnalisme sebagai forum publik sangatlah penting karena –seperti pada zaman Yunani kuno– lewat forum inilah demokrasi ditegakkan.
Sekarang, teknologi modern membuat forum ini lebih bertenaga: ada siaran langsung televisi maupun chat room di internet. Tapi kecepatan yang menyertai teknologi baru ini juga meningkatkan kemampuan terjadinya distorsi maupun informasi yang menyesatkan yang potensial merusak reputasi jurnalisme.
Kovach dan Rosenstiel berpendapat jurnalisme yang mengakomodasi debat publik harus dibedakan dengan "jurnalisme semu," yang mengadakan debat secara artifisial dengan tujuan menghibur atau melakukan provokasi.
Munculnya jurnalisme semu itu terjadi karena debatnya tak dibuat berdasarkan fakta-fakta secara memadai. "Talk is cheap," kata Kovach dan Rosenstiel. Biaya produksi sebuah talk show kecil sekali dibandingkan biaya membangun infrastruktur reportase. Sebuah media yang hendak membangun infrastruktur reportase bukan saja harus menggaji puluhan, bahkan ratusan wartawan, tapi juga membiayai operasi mereka. Belum lagi bila media bersangkutan hendak membuka biro-biro baik di dalam negeri maupun di luar negeri. Ngomong itu murah. Mendapatkan komentar-komentar lewat telepon dan disiarkan secara langsung sangat jauh lebih murah ketimbang melakukan reportase.
Jurnalisme semu juga muncul karena gaya lebih dipentingkan ketimbang esensi. Jurnalisme semu pada gilirannya membahayakan demokrasi karena ia bukannya memperlebar nuansa suatu perdebatan tapi lebih memfokuskan dirinya pada isu-isu yang sempit, yang terpolarisasi. Buntutnya, upaya mencari kompromi, sesuatu yang esensial dalam demokrasi, juga tak terbantu oleh jurnalisme macam ini. Jurnalisme semu tak memberikan pencerahan tapi malah mengajak orang berkelahi lebih sengit.
SELAMA dua semester mengikuti program Nieman Fellowship, Bill Kovach mengusulkan agar kami ikut suatu kelas tentang penulisan nonfiksi. Dia menekankan perlunya wartawan belajar menulis narasi karena kekuatan jurnalisme cetak sangat ditentukan kemampuan ini. Apalagi pada zaman di mana media elektronik bisa menyampaikan berita lebih cepat dari media cetak. Saya mengikuti nasihat Kovach dan belajar tentang suatu genre yang disebut narrative report atau jurnalisme kesastraan.
Anjuran itu sesuai dengan elemen ketujuh bahwa jurnalisme harus memikat sekaligus relevan. Mungkin meminjam moto majalah Tempo, jurnalisme itu harus "enak dibaca dan perlu." Selama mengikuti kelas narasi itu, saya belajar banyak tentang komposisi, tentang etika, tentang naik-turunnya emosi pembaca, dan sebagainya.
Memikat sekaligus relevan. Ironisnya, dua faktor ini justru sering dianggap dua hal yang bertolak belakang. Laporan yang memikat dianggap laporan yang lucu, sensasional, menghibur, dan penuh tokoh selebritas. Tapi laporan yang relevan dianggap kering, angka-angka, dan membosankan.
Padahal bukti-bukti cukup banyak bahwa masyarakat mau keduanya. Orang membaca berita olah raga tapi juga berita ekonomi. Orang baca resensi buku tapi juga mengisi teka-teki silang. Majalah The New Yorker terkenal bukan saja karena kartun-kartunnya yang lucu, tapi juga laporan-laporannya yang panjang dan serius.
Kovach dan Rosenstiel mengatakan, wartawan yang berpendapat macam itu pada dasarnya malas, bodoh, bias, dan tak tahu bagaimana harus menyajikan jurnalisme yang bermutu.
Menulis narasi yang dalam, sekaligus memikat, butuh waktu lama. Banyak contoh bagaimana laporan panjang dikerjakan selama berbulan-bulan, terkadang malah bertahun-tahun. Padahal waktu adalah sebuah kemewahan dalam bisnis media.
Di sisi lain, daya tarik hiburan memang luar biasa. Pada 1977 kulit muka majalah Newsweek dan Time 31 persen diisi gambar tokoh politik atau pemimpin internasional serta 15 persen berilustrasi bintang hiburan. Pada 1997, kulit muka kedua majalah internasional ini mengalami penurunan 60 persen dalam hal tokoh politik. Sedangkan 40 persen diisi bintang hiburan.
Duet Kovach-Rosenstiel sebelumnya menerbitkan buku Warp Speed: American in the Age of Mixed Media. Di sini mereka melakukan analisis tajam terhadap liputan media Amerika atas skandal Presiden Bill Clinton dan Monica Lewinsky. Kebanyakan media suka menekankan pada sisi sensasi skandal itu ketimbang isu yang lebih relevan.
Elemen kedelapan adalah kewajiban wartawan menjadikan beritanya proporsional dan komprehensif. Kovach dan Rosenstiel mengatakan, banyak suratkabar yang menyajikan berita yang tak proporsional. Judul-judulnya sensional. Penekanannya pada aspek yang emosional. Mungkin kalau di Jakarta contoh terbaik harian Rakyat Merdeka. Suratkabar macam ini sering kali tidak proporsional dalam pemberitaannya.
Kovach dan Rosenstiel mengambil perumpamaan menarik. Suratkabar sensasional diibaratkan seseorang yang ingin menarik perhatian pembaca dengan pergi ke tempat umum, lalu melepas pakaian, telanjang. Orang pasti suka dan melihatnya. Bagaimana orang telanjang itu menjaga kesetiaan pemirsanya?
Ini berbeda dengan pemain gitar. Dia datang ke tempat umum, memainkan gitar, dan ada sedikit orang yang memperhatikan. Tapi seiring dengan kualitas permainan gitarnya, makin hari makin banyak orang yang datang untuk mendengarkan. Pemain gitar ini contoh suratkabar yang proporsional.
Proporsional serta komprehensif dalam jurnalisme memang tak seilmiah pembuatan peta. Berita mana yang diangkat, mana yang penting, mana yang dijadikan berita utama, penilaiannya bisa berbeda antara wartawan dan pembaca. Pemilihan berita juga sangat subjektif. Kovach dan Rosenstiel bilang, justru karena subjektif inilah wartawan harus senantiasa ingat agar proporsional dalam menyajikan berita.
Masyarakat bisa tahu kalau si wartawan mencoba proporsional atau tidak. Sebaliknya masyarakat juga tahu kalau wartawan cuma mau bertelanjang bulat.
SETIAP wartawan harus mendengarkan hati nuraninya. Dari ruang redaksi hingga ruang direksi, semua wartawan seyogyanya punya pertimbangan pribadi tentang etika dan tanggung jawab sosial. Ini elemen kesembilan.
"Setiap individu reporter harus menetapkan kode etiknya sendiri, standarnya sendiri, dan berdasarkan model itulah dia membangun karier," kata wartawan televisi Bill Kurtis dari A&E Network.
Menjalankan prinsip ini tak mudah, karena diperlukan suasana kerja yang nyaman, yang bebas, tempat setiap orang dirangsang untuk bersuara. "Bos, saya kira keputusan Anda keliru!" atau "Pak, ini kok kesannya rasialis." Dua contoh kalimat itu seyogyanya bisa muncul di ruang redaksi.
Menciptakan suasana ini tak mudah karena berdasarkan kebutuhannya, ruang redaksi bukanlah tempat demokrasi dijalankan. Ruang redaksi bahkan berkecenderungan menciptakan kediktatoran. Seseorang di puncak organisasi media memang harus bisa mengambil keputusan –menerbitkan atau tidak menerbitkan sebuah laporan, membiarkan atau mencabut sebuah kutipan yang panas– agar media bersangkutan bisa menepati deadline.
Membolehkan tiap individu wartawan menyuarakan hati nurani pada dasarnya membuat urusan manajemen jadi lebih kompleks. Tugas para redaktur untuk memahami persoalan ini. Mereka memang mengambil keputusan final tapi mereka harus senantiasa membuka diri agar tiap orang yang hendak memberi kritik atau komentar bisa datang langsung pada mereka.
Bob Woodward dari The Washington Post mengatakan, "Jurnalisme yang paling baik sering kali muncul ketika ia menentang manajemennya."
Pada hari pertama Nieman Fellowship, Bill Kovach mengatakan pada 24 peserta program itu bahwa pintunya selalu terbuka. Terkadang dia sering harus mengejar deadline dan mengetik. "Raut wajah saya bisa galak sekali bila seseorang muncul di pintu saya. Tapi jangan digubris. Masuk dan bicaralah. ***
Copyright © 2001, PANTAU